Syarat-Syarat Potensial Budidaya
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
MAKALAH
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manajemen Marinkultur
yang dibina Bapak Prof. Ir. Marsoedi, P.hD
Kelas B05
Oleh:
Yuni Setyaningrum W. (135080500111038)
Sayang Ananda Fitri (135080500111044)
Khairini Anwar (135080500111046)
Anggun Kurnia Putri (135080500111047)
Nursyahfira Putri (135080500111048)
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Juni 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) atau dikenal juga
dengan nama udang putih adalah salah satu komoditas budidaya yang menguntungkan
di Indonesia. Karena udang ini memiliki daya tahan tubuh yang lebih tinggi
dibandingkan dengan udang windu yang sempat booming
di Indonesia. Komoditas udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini
dibudidayakan mulai dari pantai Barat Meksiko kearah selatan hingga daerah
Peru. Sejak 4 tahun terakhir, budidaya udang ini mulai merebak dengan cepat di
kawasan Asia, seperti Taiwan, Cina, dan Malaysia, bahkan kini di Indonesia
(Haliman, 2007 dalam Chusnul et al., 2010).
Udang vannamei resmi diizinkan
masuk ke Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI. No. 41/2001,
dimana produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat serangan penyakit dan
penurunan kualitas lingkungan. Pemerintah kemudian melakukan kajian pada
komoditas udang laut jenis lain yang dapat menambah produksi udang selain udang
windu di Indonesia. Posisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dengan
musim hujan dan kemarau yang tetap, menyebabkan Indonesia mampu memproduksi
udang vannamei sepanjang tahun. Produksi tersebut disesuaikan dengan kondisi
dan karakteristik lahan masing-masing. Udang vannamei pada awalnya dianggap
tahan terhadap serangan penyakit. Namun dalam perkembangannya, udang vannamei
juga terserang WSSV (White Spot Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus),
IMNV (Infectious Myo Necrosis Virus), vibrio, dan penyakit terbaru yaitu EMS
(Early Mortality Syndrome). Untuk itu perlu dilakukan pencegahan dan
pengendalian dengan penerapan budidaya ramah lingkungan (Badrudin, 2014).
Menurut Davis et al. (2004),
udang putih Pasifik (Litopenaeus vannamei)
adalah spesies pilihan industri budidaya udang di belahan bumi barat. Spesies
ini ditemukan di perairan dengan kisaran salinitas yang lebar (1-40 ppt).
Toleransi yang tinggi dari L. vannamei ke salinitas rendah dan ketersediaan
sepanjang tahun sehat pasca-larva (PL) membuat spesies ini menjadi kandidat
yang sangat baik untuk budidaya di daratan. Udang vannamei menijah di perairan
yang bersalinitas rendah dan setelah dewasa kembali ke perairan yang
bersalinitas tinggi.
Untuk mendapatkan hasil produksi
yang maksimal, budidaya udang ini haruslah memenuhi beberapa syarat-syarat
potensial yang baik bagi budidaya. Diantaranya adalah pemilihan bibit udang
yang baik, pemilihan lokasi tambak yang baik, sarana dan prasarana yang
mendukung, serta kualitas air yang harus dikontrol agar menjadi lingkungan
hidup yang mendukung tumbuh kembang udang dan terhindar dari virus.
1.2 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil dari
makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah
klasifikasi, morfologi, habitat dan kebiasaan udang vaname (Litopenaeus vannamei)?
2.
Bagaimanakah
potensi dan keunggulan dari udang vaname
(Litopenaeus vannamei)?
3.
Bagaimanakah
syarat budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei)?
4.
Bagaimanakah
syarat lokasi budidaya (Litopenaeus
vannamei)?
1.3 Tujuan
Tujuan yang dapat diambil dari makalah
ini adalah:
1.
Mengetahui
klasifikasi, morfologi, habitat dan kebiasaan udang vaname (Litopenaeus vannamei).
2.
Mengetahui
potensi dan keunggulan dari udang vaname
(Litopenaeus vannamei).
3.
Mengetahui
syarat budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei).
4.
Mengetahui
syarat lokasi budidaya (Litopenaeus
vannamei).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi,
Morfologi, Habitat dan Kebiasaan
Klasifikasi udang
vaname (Litopenaeus vannamei)
menurut Haliman dan Adiwijaya
(2005) dalam Zulkarnain (2011),
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub
Kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Sub
Fillum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub
Kelas : Eumalacostraca
Super
Ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub
Ordo : Dendrobranchiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus
vannamei
(Hudi dan Shahab, 2001)
·
Morfologi Eksternal
Umumnya tubuh
udang vaname dibagi
menjadi dua bagian, yaitu bagian
kepala yang menyatu
dengan bagian dada
disebut Cephalothorax dan bagian tubuh sampai ekor disebut Abdomen. Cephalothorax
terlindung oleh cangkang yang terbuat dari
chitin yang disebut carapace. Bagian ujung cephalotoraxyang runcing dan
bergerigidisebut rostrum. Udang
vannamei memiliki 2
gerigi di bagian
ventral rostrum sedangkan di
bagian dorsalnya memiliki 8 sampai 9 gerigi. Tubuh udang
vannamei beruas-ruas dan
tiap ruas terdapat
sepasang anggota badan yang umumnya bercabang dua atau biramus. Keseluruhan ruas badan
udang vannamei umumnya
sebanyak 20 buah.
Seperti crustacea lainya, udang memiliki bentuk tubuh simetris
bilateral. Tubuhnya di lindungi oleh exoskeleton (cangkang luar) dan dibagi
menjadi dua bagian yaitu : cephalothorax (salah satu bagian yang unik) dan
perut (beberapa bagian yang diartikulasikan). Tubuhnya ditutupi oleh kerangka
chitin kurang lebih mengandung kalsium karbonat. Organnya sangat fleksibel
dalam artikulasi perut yang berguna untuk
memungkinkan adanya gerakan. Di bagian
kepala, terdapat antennules dan antena yang berfungsi sebagai sensorik. Terdapat rahang dan dua pasang
maksila membentuk struktur rahang seperti yang terlibat dalam menghancurkan
makanan. Appendages dari cephalothorax
bervariasi berdasarkan bentuk dan fungsnya. Maxillipeds adalah yang pertama
tiga pasang appendages, dimodifikasi untuk mengambil makanan dan lima pasang
yang tersisa merupakan kaki jalan berjalan (pereopods). Terdapat Lima pasang
kaki renang (pleopods) pada perut.
(google
image, 2015)
·
Morfologi Internal
Morfologi internal udang
vannamei akan diuraikan dalam gambar selanjutnya. Penaeids dan arthropoda
lainnya memiliki sistem peredaran darah terbuka. Sehingga darah dan sel darah
masing-masing disebut hemolimf dan hemosit. Ruang terbuka dalam tubuh udang
disebut haemocoel yang mengandung
hemolimf. Krustasea memiliki otot jantung pada punggung yang terletak di
cephalothorax posterior. Otot ini pendek dan lebar, dan meruncing anterior dan
posterior. Darah dipompa oleh jantung melalui kompleks array dari arteri hingga
haemocoel. Melalui katup pembuluh hemolimf meninggalkan jantung dan bercabang
beberapa kali sebelum hemolimf tiba di sinus yang tersebar di seluruh tubuh, di
mana pertukaran zat berlangsung. Setelah melewati insang, kembali hemolimf
dalam jantung dengan cara tiga bukaan non- katup terbuka lebar. Hemosit diproduksi
di haematopoietictissue tersebut. Organ ini tersebar di cephalothorax, paling
banyak di sekitar perut dan bagian awal
dari maxillipeds.
Sistem pencernaan dibagi menjadi
bagian yang kompleks, Terdapat kutikula
berlapis wilayah foregut; kompakpencernaan (atau midgut) kelenjar pada awal
wilayah midgut, diikuti oleh tubular panjang, sederhana; dan daerah
kutikula-line mindgut, terutama terdiri dari rektum . Perut dan kerongkongan
adalah bagian dari foregut. Perut terdiri dari jantung dan daerah pilorus.
Dalam perut kutikulajantung diuraikan untuk membentuk sebuah pabrik lambung
yang kompleks dan rumit untuk menggiling
makanan. Bagian posterior perut dan
jantung terdapatbagian perut kecil, perut pilorus yang berisi saringan,
atau filter press, membuat setae ofcuticular. Dalam midgut terdapat
hepatopancreas. Kelenjar pencernaan
ini terdiri dari diverticula
usus. Ruang antara tubulus hepatopancreatic ditempati oleh sinus hemolimf.
Fungsi utama dari hepatopancreas adalah penyerapan nutrisi, penyimpanan lipid
dan produksi enzim pencernaan.
Sistem
reproduksi pada krustasea adalah sebagai berikut. Jantan memiliki dua pasang
appendages pada perut diubah pada segmen pertama dan kedua perut menjadi
petasma yang memberikan sperma ke wadah eksternal betina yaitu thelycum yang
terletak antara basis kaki berjalan kelima. Gonad (ovarium dan testis) berada
di bagian struktur tubular di cephalothorax yang menghubungkan ke bagian luar
dengan pelengkap seksual eksternal (thelycum dan petasma) melalui
pairedgonoducts (saluran telur dan vasa deferentia).
(google
image, 2015)
Udang vanamae dapat ditemukan di
perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia dari koordinat 40 lintang utara hingga 40° lintang selatan.
Udang dewasa bisanya ditemukan di kedalaman 180 m dan bisanya berhabitat di
off-shore waters, sedangkan juvenilesnya biasanya berada di daerah terlindung
dekat pantai. Litopenaeus vannamei
berasal dari pantai pasifik Amerika, dari meksiko hingga peru, dimana dengan
area bertemperatur normal lebih dari 200 C tiap tahunnya. Udang yang berhabitat
di laut menyukai dasar yang berlumpur dengan kedalaman dari garis pantai di bawah sekitar
72 meter. Saat ini tidak diketahui apakah ada suatu populasi yang terisolasi
dengan adanya variasi dari berbagai
daerah dan kondisi lingkungannya.
Terdapat berbagai sifat dan tingkah laku udang yang
perlu diketahui yaitu sifat nocturnal,
sifat suka memangsa sesama jenis (kanibalisme) dan proses ganti
kulit (moulting). Sifat nocturnal
merupakan sifat binatang
yang akan aktif mencari makan pada waktu malam hari, sedangkan pada siang
hari udang vannamei lebih suka
beristirahat dengan cara
membenamkan diri di
dalam lumpur maupun
menempel pada suatu benda yang
terendam air. Sifat noctural ini sangat penting dipelajari karena dapat dipakai
acuan pada sasat pemberian pakan pada udang. Proses moulting dan sifat
kanimabilismenya perlu diwaspadai karena dapat menurunkan produksi budidaya.
Hal ini disebabkan karena pada proses moulting udang menjadi lemah dan dapat
menjadi mangsa udang yang lebih kuat dan dewasa. Oleh karena itu dalam
pembesaran udang harus dipilih udang yang sam ukuranya dalam satu tempat.
Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Bo Zhang (2011), penurunan tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup
udang dalam budidaya intensif
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah sifat
kanibalisme, kualitas air dan sedimen. Faktor lainnya dapat berupa ketersediaan
pakan dan ruang bagi udang. Kurangnya pakan yang diberikan dapat menicu
terjadinya kanibalisme pada udang. Substrat dan kualitas air yang tidak terkontrol
dapat mengandung banyak bahan organik yang jika terdengradasi dapat menyebabkan
toksik pada udang. Sehingga untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan
hidup udang di perlukan kualitas air yang baik dan ketersediaan pakan yang
mencukupi bagi udang serta sediment yang baik bagi budidaya udang.
2.2 Potensi
dan Keunggulan
Berdasarkan potensi perikanan
yang dimiliki, industri perikanan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua
kelompok besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan
perikanan tangkap lebih ditekankan pada usaha penangkapan di laut, sedangkan
pengelolaan perikanan budidaya lebih ditekankan pada kegiatan di perairan
payau, perairan tawar, dan perairan pantai. Komoditas yang banyak dibudidayakan
antara lain: udang, ikan bandeng, nila, kerapu, dan rumput laut (DPK, 2002
dalam Yasin, 2013).
Tabel 1. Perkembangan Volume dan
Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011
Pasar ekspor udang Indonesia
meliputi Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa. Selama ini
negara tujuan utama ekspor udang Indonesia adalah Jepang sekitar 60 persen dari
total ekspor. Pada tahun 1998 Jepang mengimpor udang 238.900 ton, dan Indonesia
sebagai pemasok utama dengan pangsa pasar 22,48 persen. Adapun volume dan nilai
ekspor udang Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, secara
terinci dapat dilihat pada Tabel 1.1
Di antara produk perikanan dan
kelautan, udang merupakan komoditas primadona yang berpotensi ekspor dan
menghasilkan devisa bagi negara. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan
Perikanan (2008), bahwa lebih dari 50 persen devisa dari sektor perikanan
berasal dari komoditas udang (dari berbagai jenis). Namun demikian, komoditas
ini sering mengalami pasang surut, baik produksi maupun pemasarannya.
Kehadiran varietas udang vaname
tidak hanya menambah pilihan bagi petambak, tetapi juga menopang kebangkitan
usaha budidaya udang di Indonesia dan diharapkan dapat membuat investasi di
bidang pertambakan udang bergairah kembali. Udang vaname merupakan komoditas
pengganti udang windu yang sensitif terhadap beberapa jenis virus. Bila kondisi
tambak di Indonesia sudah normal (bebas serangan virus bintik putih), udang
windu akan dibudidayakan kembali, karena udang windu merupakan andalan ekspor
Indonesia tiga dasawarsa terakhir (Haliman et al., 2006 dalam Yasin, 2013).
Udang ini memiliki keunggulan
seperti kebutuhan akan protein yang terkandung dalam pakan relatif rendah, toleran
terhadap perbedaan suhu air yang luas (eurythermal), toleran terhadap kandungan
oksigen yang relatif rendah, dapat matang gonad di dalam tambak, udang ini juga
memiliki pertumbuhan yang cepat, cenderung lebih bebas penyakit patogen yang
spesifik dan biaya produksi lebih rendah dibandingkan udang windu. Tingginya
harga dan permintaan pasar luar negeri membuat komoditi ini harus mampu
bersaing di pasaran seperti harus memenuhi persyaratan eco/green label status,
memiliki kriteria safety food yaitu produk harus bebas dari logam berat,
bakteri dan residu hormon dan antibiotik. Kualitas ini dipengaruhi oleh
lingkungan tempat hidup dari udang tersebut, yang diawali dari usaha budidaya.
Untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan kajian mengenai keberlanjutan budidaya
Udang Vaname yang ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan
kelembagaan (Sitorus, 2013).
Menurut Hudi dan Shahab (2005), Litopenaues vannamei atau dikenal dengan
nama udang vaname merupakan varietas baru yang memiliki sejumlah keunggulan,
antara lain lebih resisten/tahan terhadap penyakit dan kualitas lingkungan yang
rendah, padat tebar cukup tinggi, waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar
90-100 hari per-siklus. Resistensi terhadap penyakit dan kualitas lingkungan
hidup yang rendah terkait dengan ketahanan hidup (survival) udang terhadap
kontaminan organik dan anorganik, dimana dia masih bertahan hidup secara normal
hingga umur layak konsumsi. Lingkungan hidup udang meliputi tanah dan air
tempat (habitat) hidup udang. Kelayakannya, ditentukan oleh derajat keasaman
(pH), kadar garam (salinitas), kandungan oksigen terlarut, kandungan amonia,
H2S, kecerahan air, kandungan plankton, dan lain-lain. Ketahanan hidup ini
sangat menentukan dalam keberhasilan proses budidaya udang.
2.3 Syarat
Budidaya
Untuk meningkatkan produksi
udang secara maksimal, usaha budidaya udangmemerlukan manajemen kualitas air
yang baik, yang mencakup pengondisian semua parameter kualitas air tambak agar
nilai optimum bagi pertumbuhan udang dapat tercapai. Menurut Erlina (2006),
dalam manajemen kualitas air, hal yang harus diperhatikan adalah pasokan air
pada media budidaya, baik kualitas dan kuantitasnya.
Menurut Wiranto dan Hermida (2010),
pengukuran kualitas air dapat dilakukan secara visual, yaitu dengan melihat kecerahan-warna
air dan tinggi air, atau dengan menggunakan alat ukur kualitas air.Sifat fisika
dan kimia air diamati seminggu sekali dengan pengambilan air sampel yang
kemudian diamati di laboratorium. Parameter kualitas air yang diamati meliputi
suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH di amati setiap hari sedangkan Amonia,
nitrit, BOD, kecerahan air, bau, kepadatan bioflok diamati setiap dua minggu
sekali.
Di antara semua parameter kualitas air
tambak udang, oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH) memegang peranan
yang paling penting. Sampai saat ini, cara yang digunakan petambak untuk
menjaga kadar DO dalam air adalah dengan menyalakan kincir-kincir yang tersebar
di dalam tambak dan dijalankan secara terus-menerus, terutama bila sudah
mendekati masa-masa panen. Sementara itu, penentuan nilai pH biasanya dilakukan
dengan cara pengukuran secara manual dan berkala oleh operator menggunakan pH
meter, yang tentunya sangat rawan terhadap terjadinya misinformasi dengan
pemilik tambak.
Menurut Baliao dan Tookwinas (2002),
disarankan air yang akan ditebari udang harus mempunyai kualitas sifat fisika kimia
sebagai berikut:
Oksigen
terlarut : > 4 ppm
Ammonia : < 0,1 ppm
Salinitas : 25 - 30 ppt
pH : 7,5 - 8,5
Suhu : 28 – 32°C
Alkalinitas : > 80 ppm
Kecerahan : 35 - 45 cm
Warna
air : hijau kecoklatan
Berikut ini merupakan tabel kisaran
parameter yang baik untuk kegiatan budidaya udang:
Tabel
1. Kisaran Kualitas Air untuk Budidaya Udang
(Atmomarsono
et al., 2014)
Pemberian pakan yang berlebih pada
budidaya udang secara intensif akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Menurut Garno (2004), rendahnya kualitas air
akibat dari kelebihan pakan (bahan organik) dapat mendukung kehidupan
mikroorganisme, termasuk penyakit udangseperti white spot syndrome virus
(WSSV).
Masalah lingkungan dalam tambak udang
terkait dengan proses pemilihan lokasi yang tidak dilaksanakan dengan cermat
dan manajemen usaha budidaya yang tidak tepat, misalnya pengelolaan kualitas
air, pemberian pakan, kuantitas dan kualitas kultivan dan kurangnya koordinasi
antar petambak (Maulina et al., 2012). Masalah lingkungan ini dapat mengancam
keberlanjutan usaha budidaya udang vaname itu sendiri.
Aklimasi salinitas pada media
pemeliharaan benih merupakan kunci utama untuk menekan angka kematian.
Perbedaan salinitas antara media pemeliharaan benih dan air tambak maksimum
3ppt lebih rendah atau lebih tinggi dari air tambak. Salinitas optimum untuk
pemeliharaan udang antara 15 hingga 25 ppt. Untuk salinitas dibawah 15 ppt,
aklimasi benih dapat dilakukan lebih rendah maksimum 3 ppt dari salinitas air
tambak. Media pemeliharaan benih udang umumnya dengan dengan salinitas 28-30
ppt. Penurunan salinitas lebih baik dilakukan di bak pemeliharaan benih yang
dimulai setelah larva udang berumur 10-12 12 (PL10-PL12) dengan penambahan air
secara bertahap sebesar 2-3 ppt perhari hingga salinitas media air 15 ppt.
Penurunan salinitas media benih selanjutnya dilakukan secara bertahap 1-2 ppt
hingga salinitas yang sesuai dengan salinitas air tambak. Secara umum untuk
aklimasi salinitas media benih menjadi 2 ppt diperlukan waktu sekitar 15 hari
atau benuh berukuran tokolan (PL25). Oleh karena itu sebelum melakukan aklimasi
penurunan salinitas juga sudah diperhitungkan kepadatan jumlah benih dalam bak.
Setelah salinitas disesuaikan dengan salinitas air tambak, dilakukan pemanenan
dan transportasi ke tambak. Pada proses transportasi dilakukan dengan penurunan
suhu media hingga 240C agar benih tidak aktif untuk menghindari kanibalisme.
Setelah sampai tambak dilakukan adaptasi suhu sesuai dengan suhu air tambak
dengan cara mengapungkan kantong benih pada air tambak. Setelah sehu naik sama
dengan air tambak yang ditandai benih udang mulai aktif bergerak dilakukan
penenyebaran dengan menuang benih dalam air tambak.
Untuk memenuhi kriteria kualitas
kualitas air yang baik, maka air yang diambil dari saluran penyedian air
dilakukan dengan cara memompa air dan ditampung dengan petak reservoir yang
dilengkapi dengan biofilter, berupa ikan bandeng. Setiap penambahan air baru
dari sumber air harus dilakukan sterilisasi dengan kaporit dan telah melaui
biofilte. Parameter kualitas air yang penting yang dilakukan pengendalian
adalah kepadatan plankton dipertahankan pada kecerahan 35-45 cm dengan warna
air hijau muda, coklat muda, hijau kecoklatan. Oksigen terlarut pada air di
dasar tahan dipertahankan minimal 3,5 ppm selama pemeliharaan dengan
pengguanaan kincir. Alkalinitas dipertahankan berkisar 90-140 ppm. Nilai pH air
berkisar 7,8-8,5. Kedalaman air minimal 60 cm dan bahan organic terlarut
minimal 150 ppm (LamonganKab).
2.4 Syarat
Lokasi Budidaya
Menurut Badrudin (2014), berikut adalah
syarat pemilihan lokasi budidaya udang vaname yang baik.
1. Pemilihan Lokasi
- Dekat dari sumber air, baik berasal
dari sungai atau dari laut dan bebas dari banjir dengan jumlah cukup selama
proses budidaya. Sumber air tidak tercemar dan berkualitas bagus.
- Tidak melakukan pengambilan air tanah
untuk pengairan tambak, yang dapat menyebabkan intrusiair asin ke dalam akuifer
air tawar, serta runtuhnya tanah permukaan.
- Terdapat jalur hijau yang memadai.
Penanaman mangrove di saluran air untuk menetralisir pencemaran. Penanaman
mangrove di pematang juga akan memperkuat tekstur pematang. Penanaman mangrove
disesuaikan dengan jenis tanah dan mangrove.
- Tekstur tanah yang baik yaitu liat
berpasir, dengan fraksi liat minimal 20% agar tanah tidak porous (dapat menahan
air).
- Memastikan tanah tidak mengandung
pyrit/zat besi. Pyrit ditandai munculnya warna kuning keemasan yang berlebihan
pada tanah.
- Kandungan pyrit diatasi dengan cara
reklamasi, yaitu melakukan pengeringan, pembalikan dan pencucian tanah, serta
pembuangan air secara berulang. Untuk reklamasi tanah tambak secara total
dilakukan dengan pengeringan selama berbulan-bulan, pembalikan dan pencucian
berkali-kali. Tidak perlu pemberian kapur. Reklamasi tidak dilakukan pada musim
hujan.
- Kemudahan akses transportasi akan
mendukung kesuksesan budidaya.
2. Desain, Tata Letak, dan IPAL
-Ketinggian pematang sebaiknya 2,5 m
dengan lebar 1,5 - 2 m. Dengan konstruksi tersebut, pematang mampu menampung
air dengan kedalaman sekitar 1 m serta memungkinkan untuk penanaman mangrove di
pematang.
-Ukuran luasan petak (muka air) tambak
umumnya 0,3 - 0,5 ha, berbentuk segi panjang atau bujur sangkar. Ukuran petakan
tambak diupayakan tidak terlalu besar untuk memudahkan pengawasan dan
pemeliharaan. Terdapat sistem pemasukan air (inlet) dan pengeluaran air
(outlet) secara terpisah.
-Pemasukan dan pengeluaran air dapat
didukung dengan penggunaan pipa dan atau bantuan pompa. Sistem tersebut adalah
tandon inlet dan tandon IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) untuk monitoring
kualitas air yang masuk dan keluar.
Pemilihan lokasi budidaya yang
baik dan cocok memegang peranan penting dalam keberhasilan budidaya. Lokasi
untuk mendirikan usaha budidaya udang di tentukan setelah dilakukan studi atau
analisis terhadap data atau informasi tentang topografi lahan, tanah, sumber
pengairan, ekosistem (hubungan lingkungan dengan kehidupan flora atau fauna)
dan iklim atau meteorology. Usaha budidaya yang ditunjang data tersebut
memungkinkan dibuat suatu desain dan rekayasa perkolaman yang mengarah ke
ekonomi yang berkaitan dengan harga dan keadaan social ekonomis.
Dalam budidaya perairan (akuakultur)
khususnya udang, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan.
Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi
besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan
hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan
suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata
individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Primavera (2006) menyatakan pemilihan
lokasi budidaya harus memperhatikan beberapa factor agar budidaya ramah
lingkungan dan usaha budidaya
berkelanjutan. Kriteria lokasi budidaya meliputi faktor-faktor fisik standart
seperti pasokan air, rezim pasang surut, topografi, kualitas tanah dan iklim
serta kemampuan lingkungan untuk menyerap limbah.Kerapatan dari ikan/udang yang
dibudidayakan di tambak, hal ini berhubungan dengan limbah yang dihasilkan dari
usaha budidaya sehingga limbah yang dibuang tidak melebihi kapasitas asimilasi
lingkungan.
Sistem pengelolaan semi-intensif
merupakan teknologi budi daya yang dianggap cocok untuk budi daya udang di
tambak di Indonesia karena dampaknya terhadap lingkungan relatif lebih kecil.
Selain kebutuhan sarana dan prasarana
produksi yang jauh lebih murah dibandingkan tambak intensif, yang lebih
pokok dari sistem semi-intensif ini, yaitu memberikan kelangsungan produksi dan
usaha dalam jangka waktu yang lebih lama (Adiwijaya et al., 2008).
Keberhasilan suatu budidaya ditentukan
oleh manajemen pengelolaan kualitas perairan.Hal itu dikarenakan udang
putih/vaname sangat sensitive terhadap lingkungan/media hidupnya. Udang vaname
memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam/ salinitas
(euryhaline) dan perubahan suhu (eurythermal). Artinya dapat dibudidayakan
dalam kisaran salinitas dan suhu dengan rentang yang lebar, dengan teknik/
prosedur aklimatisasi tertentu.Tetapi
pada pH yang tinggi dapat menyebabkan daya hisap O2 pada kulit
udang berkurang, nafsu makan berkurang,
dan pengeroposan kulit. Rentan terjadi pada udang berumur > 2 bulan
(Simajuntak, 2014).
Dalam memilih lokasi pemilihan untuk
budidaya terdapat beberapa syarat dan desain untuk tempat atau media hidup
ikan. Diantaranya lokasi yang di pilih mudah untuk mendapat sumber air,
baik dari air tawar maupun air laut. Lokasi
yang di pilih tidak jauh dari lahan mangrove sehingga bahan pencemar yang akan
mencemari tempat budidaya diserap dan dimanfaatkan oleh mangrove. Kemudian
tanah tidak mengandung bahan pencemar seperti zat–zat yang dapat membunuh udang
vannamei.
Hal di atas sesuai dengan pernyataan
Badrudin (2014), pemilihan lokasi yang tepat terdapat beberapa faktor,
diantaranya adalah :
• Dekat dari
sumber air, baik berasal dari sungai atau dari laut dan bebas dari banjir
dengan jumlah cukup selama proses budidaya. Sumber air tidak tercemar dan
berkualitas bagus.
• Tidak melakukan
pengambilan air tanah untuk pengairan tambak, yang dapat menyebabkan intrusiair
asin ke dalam akuifer air tawar, serta runtuhnya tanah permukaan.
• Terdapat jalur
hijau yang memadai. Penanaman mangrove di saluran air untuk menetralisir
pencemaran. Penanaman mangrove di pematang juga akan memperkuat tekstur
pematang. Penanaman mangrove disesuaikan dengan jenis tanah dan mangrove.
• Tekstur tanah
yang baik yaitu liat berpasir, dengan fraksi liat minimal 20% agar tanah tidak
porous (dapat menahan air).
• Memastikan tanah
tidak mengandung pyrit/zat besi. Pyrit ditandai munculnya warna kuning keemasan
yang berlebihan pada tanah. Kandungan pyrit diatasi dengan cara reklamasi,
yaitu melakukan pengeringan, pembalikan dan pencucian tanah, serta pembuangan
air secara berulang. Untuk reklamasi tanah tambak secara total dilakukan dengan
pengeringan selama berbulan-bulan, pembalikan dan pencucian berkali-kali. Tidak
perlu pemberian kapur. Reklamasi tidak dilakukan pada musim hujan.- Kemudahan
akses transportasi akan mendukung kesuksesan budidaya.
Sedangkan desain yang yang digunakan
memiliki ketinggian pematang 2,5 m dengan lebar tidak lebih dari 2 m dan tidak
kurang dari 1,5 m, sehingga pematang mampu menampung air dengan kedalaman
sekitar 1 m. Kedalaman tersebut merupakan kedalaman yang mampu menunjang
kehidupan organisme secara optimal. Selain itu system resirkulasi yang baik,
sehingga dapat mengurangi resiko kematian udang vannamei.
Hal ini sependapat dengan pernyataan
Badrudin (2014), yang menyatakan bahwa desain tempat yang baik untuk mendukung
pertumbuhan udang vannamei yang baik yaitu :
• Ketinggian
pematang sebaiknya 2,5 m dengan lebar 1,5 - 2 m. Dengan konstruksi tersebut,
pematang mampu menampung air dengan kedalaman sekitar 1 m serta memungkinkan
untuk penanaman mangrove di pematang.
• Ukuran luasan
petak (muka air) tambak umumnya 0,3 - 0,5 ha, berbentuk segi panjang atau bujur
sangkar. Ukuran petakan tambak diupayakan tidak terlalu besar untuk memudahkan
pengawasan dan pemeliharaan.
• Terdapat sistem
pemasukan air (inlet)dan pengeluaran air (outlet) secara terpisah.
• Pemasukan dan
pengeluaran air dapat didukung dengan penggunaan pipa dan atau bantuan pompa.
• Sistem tersebut
adalah tandon inletdan tandon IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) untuk
monitoring kualitas air yang masuk dan keluar.
Tabel 1. Persyaratan minimal parameter
kualitas lokasi/lahan
Tabel 2. Persyaratan
minimal paramater kualitas air pasok
Pemilihan lokasi tambak sangat penting untuk menentukan bisa
dan tidaknya suatu lokasi dibangun pertambakan. Salah satu penialain yang
diperlukan untuk menentukan hal tersebut adalah :
a. Topografi
Topografi cukup
significan untuk dijadikan ukuran tingkat kerataan lahan, daerah yang
memupunyai topografi bergelombang perlu dipertimbangkan untuk diratakan apabila
akan dijadikan lahan pertambakan, karena akan menyangkut cost untuk land
clearing. Walaupun pada umumnya lokasi diwilayah pantai jarang ditemukan dengan
topografi bergelombang, namun ada di beberapa tempat terdapat lahan dengan
topografi bergelombang.Untuk mengetahui topografi, (gambar 1).
Gambar 1. Contoh peta kontur lokasi
calon tambak
Sedapat mungkin, lokasi tambak harus
mempunyai contur yang relatif rata, sehingga memudahkan dalam pengerjaan
pembuatan tambak dengan cost yang relatif lebih murah. Selain itu, topograi
sangat berkaitan dengan letak ketinggian lokasi dengan pasang surut. Semakin
tinggi letak lokasi tetrhadap pasang surut, akan membutuhkan effort lebih,
khususnya berkaitan dengan cost pemindahan air.
b. Elevasi
Elevasi
atau kemiringan lahan berkaitan dengan „kemampuan irigasi‟ untuk mencapai pada suatu tempat. Semakin
tingi letak lokasi akan semakin susah dijangkau oleh pasang surut. Semakin
landai letak lokasi, daerah yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan tambak
akan semakin banyak (Gambar 2 & 3).
c. Kualitas Tanah
Tanah bagi kepentingan budidaya
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
sebagai faktor fisik untuk dijadikan bangunan tambak; dan faktor kimia yang
berkaitan dengan kesuburan. Secara fisik
yang perlu diperhatikan adalah: tekstur tanah, dimana hal ini berkaitan dengan
kemampuan tanah untuk dibentuk menjadi tanggul sehingga mampu menahan tekanan
air hingga ketinggian yang diinginkan. Secara garis besar, fraksi tanah „liat
berpasir‟ merupakan bahan terbaik untuk dipertimbangkan menjadi tangul tambak
(Badrudin, 2014)
d. Vegetasi
Vegetasi yang tumbuh disuatu
tempat, khususnya diwilayah pantai dapat dijadikan indikator untuk menentukan
kualitas tanah dan kepentingan pemilihan lokasi.Vegetasi yang tumbuh merupakan
cerminan dari mineral tanah yang terkandung di sekitar lokasi tersebut.Wilayah
mangrove memang merupakan daerah yang paling sesuai dijadikan tambak, karena
terletak pada daerah intertidal atau peralihan. Namun pada daerah tertentu banyak
ditumbuhi vegetasi nipah yang merupakan cerminan bahwa daerah tersebut adalah daerah tanah asam. Jika
ketemu daerah yang seperti ini sebaiknya tidak dipilih menjadi daerah
pertambakan karena akan menuai segudang masalah.
Kawasan tambak untuk budidaya
udang baik udang windu maupun udang vaname dengan salinitas rendah berada pada
kawasan estuarine yaitu kawasan tambak yang masih terkena pengaruh iklim
pantai. Kawasan tambak ini bisa berada hingga 30 km dari pantai tetapi masih
ada pengaruhnya pasang surut air baik melalui sungai maupun saluran. Sebagai
contoh kawasan ini adalah kawasan tambak di daerah Kabupaten Gresik dan
Lamongan di sisi aliran Sungai Bengawan Solo. Pada musim kemarau, aliran air
pasang pada Sungai Bengawan Solo masuk kedaratan hingga puluhan kilometer,
sehingga menyebabkan salintas air payau sekitar 1-2 ppt. berdasrkan kajian di
lapangan ternyata udang windu maupun vaname masih dapat hidup dan tumbuh pada
tambak dengan salinitas air mencapai 1 ppt. Namun demikian yang perlu
diperhatikan adalah kadar garam air tambak yang rendah tersebut berasal dari
dari kadar garam air laut yang terus mengalami penurunan atau pengenceran
karena mendapat tambahan air tawar dari air hujan maupun air sungai. Kadar
garam yang rendah pada tambak udang bukan berasal dari cara menambahkan garam
krosok atau NaCl pada air tambak. Hal ini diduga penambahan garam krosok untuk
menaikan kadar garam pada media air untuk budidaya udang, tidak cukup melengkapi
kebutuhan anion dan kation yang diperlukan untuk kehidupan dan pertumbuhan
udang
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
-
Komoditas
udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari
pantai Barat Meksiko kearah selatan hingga daerah Peru. Sejak 4 tahun terakhir,
budidaya udang ini mulai merebak dengan cepat di kawasan Asia, seperti Taiwan,
Cina, dan Malaysia, bahkan kini di Indonesia.
-
Udang
vannamei resmi diizinkan masuk ke Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan
Perikanan RI. No. 41/2001, dimana produksi udang windu menurun sejak 1996
akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan.
-
Keunggulan
udang vaname adalah kebutuhan akan protein yang terkandung dalam pakan relatif
rendah, toleran terhadap perbedaan suhu air yang luas (eurythermal), toleran
terhadap kandungan oksigen yang relatif rendah, dapat matang gonad di dalam
tambak, udang ini juga memiliki pertumbuhan yang cepat, cenderung lebih bebas
penyakit patogen yang spesifik dan biaya produksi lebih rendah dibandingkan
udang windu.
-
Syarat
kualitas air budidaya udang vaname adalah sebagai berikut:
Oksigen terlarut : > 4 ppm
Ammonia : < 0,1 ppm
Salinitas : 25 - 30
ppt
pH : 7,5 - 8,5
Suhu : 28 – 32°C
Alkalinitas : > 80
ppm
Kecerahan : 35 - 45 cm
Warna air : hijau
kecoklatan
-
Syarat
tambak udang vaname adalah dekat dari sumber air, tidak melakukan pengambilan
air tanah untuk pengairan tambak, terdapat jalur hijau yang memadai, Tekstur
tanah yang baik yaitu liat berpasir, tanah tidak mengandung pyrit/zat besi,
transportasi akan mendukung kesuksesan budidaya.
-
Desain,
Tata Letak, dan IPAL adalah sebagai berikut; Ketinggian pematang sebaiknya 2,5
m dengan lebar 1,5 - 2 m, Ukuran luasan petak (muka air) tambak umumnya 0,3 -
0,5 ha, Pemasukan dan pengeluaran air dapat didukung dengan penggunaan pipa dan
atau bantuan pompa.
-
Kriteria
lokasi budidaya meliputi faktor-faktor fisik standart seperti pasokan air,
rezim pasang surut, topografi, kualitas tanah dan iklim serta kemampuan lingkungan
untuk menyerap limbah, kerapatan dari ikan/udang yang dibudidayakan di tambak.
3.2 Saran
Saran
yang diberikan adalah sebaiknya oembaca mencari referensi lain mengenai syarat
potensial bagi budidaya udang vaname baik di buku, jurnal, artikel, maupun
media internet.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya D, Sapto PR, Sutikno E, Sugeng, Subiyanto. 2003. Budidaya Udang Vaname(Litopenaeus vannamei) Sistem Tertutup yang Ramah Lingkungan. Jepara: Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara
Badrudin. 2014. Budidaya Udang Vannamei. Jakarta : WWF-Indonesia.
Baliao, D. D. dan Tookwinas, S. 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Philippines: Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center.
Bo Zhang. 2011. Influence of the Artificial Substrates on the Attachment Behavior o Litopenaeus vannameiin the Intensive Culture Condition. International Journal of Animal and Veterinary Advances 3(1): 37-43.
Chusnil, D. Z., J. Januar dan D. Soejono. 2010. Kajian Sosial Ekonomi Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) di Desa Dinoyo Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan. 4(1): 15-23.
Davis, D. A., T. M Samocha and C. E. Boyd. 2004. Acclimating Pacific White Shrimp, Litopenaeus vannamei, to Inland, Low-Salinity Waters. SRAC Publication 2601.
Erlina, A. 2006. Kualitas Perairan di Sekitar BBPAP Jepara Ditinjau dari Aspek Produktivitas Primer sebagai Landasan Operasional Pengembangan Budidaya Udang dan Ikan. Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Garno, Y. S. 2004. Pengembangan Budidaya Udang dan Potensi Pencemarannya pada Perairan Pesisir. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 5 (3): 187-192.
Hudi, L. dan A. Shahab. 2005. Optimasi Produktifitas Budidaya Udang Vaname (Litopenaues vannamae) dengan Menggunakan Metode Respon Surface dan Non Linier Programming. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II. 1-9.
João José Pereira Dantas da Rocha Lima. 2006. Experiments On The Effect Of Temperature On White Spot Syndrome Virus Infection In Litopenaeus Vannamei Shrimp. Thesis. Faculty Bioscience Engineering Unviesitiet Gent.
Lamongankab. BUDIDAYA UDANG PADA SALINITAS RENDAH, (http://lamongankab.go.id/instansi/perikanan/wp-content/uploads/sites/39/2013/07/budidaya-udang-pada-salinitas-rendah.pdf). Diakses pada 3 juni 2015 pukul 14:36 WIB.
Maulina, I., Asep, A. H. Dan Indah, R. Analisis Prospek Budidaya Tambak Udang di Kabupaten Garut. Jurnal Akuatika. 3(1): 49-62.
Primavera, J. H. 2006.Overcoming The Impacts Of Aquaculture On The Coastal Zone. Ocean dan Coastal Management .49 : 531–545
Ruswahyuni, A. Hartoko and S. Rudiyanti. 2010. Aplication of Chitosan for Water Quality and Macrobenthic Fauna Rehabilitation in Vannamei Shrimp (Litopenaeus Vannamei) Ponds, North Coast of Semarang, Central Java-Indonesia. Journal of Coastal Development 14(1): 1 – 10.
Simajuntak, A. 2014.Analisis Budidaya Udang Putih (Litopenaeus Vannamei) Dengan Pola Semi-Intensive.https://www.academia.edu/8875381/ANALISIS_BUDIDAYA_UDANG_PUTIH_Litopenaeus_vannamei_DENGAN_POLA_SEMI-_INTENSIVE_Studi_Kasus_di_Desa_Tanjung_Ibus_Kabupaten_Langkat (Studi Kasus di Desa Tanjung Ibus, Kabupaten Langkat ). Diakses pada 3 Juni 2015.
Sitorus, S. W. 2013. Analisis Keberlanjutan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di Beberapa Desa Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Subyakto, S., D. Sutende, M. Afandi dan Sofiati. 2009. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Semiintensif Dengan Metode Sirkulasi Tertutup Untuk Menghindari Serangan Virus. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(2): 121-127.
Wiranto, G. Dan Hemida, I. D. P. 2010. Pembuatan Sistem Monitoring Kualitas Airsecara Real Time dan Aplikasinya dalamPengelolaan Tambak Udang.Teknologi Indonesia. 33 (2): 107-113.
Yasin, M. 2013. Prospek Usaha Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Jurnal Ilmiah AgrIBA. 1: 86-99.
Zulkarnain, M. N. F. 2011. Identifikasi Parasit yang Menyerang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. PKL. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.